Bahasa Puitis dalam Drama Shakespeare: Cara Menangkap Makna Tersirat di Balik Kata-Kata
Karya Shakespeare itu memang keren, tapi kadang bahasa yang dipakai bikin kita garuk-garuk kepala! Shakespeare suka pakai bahasa puitis (figurative language), yang bikin kata-katanya punya makna lebih dalam dari yang terlihat. Di artikel ini, kita akan membahas cara memahami bahasa puitis di karya Shakespeare, lengkap dengan beberapa contohnya dalam bahasa Inggris.
1. Apa Itu Bahasa Puitis (Figurative Language) dan Kenapa Shakespeare Suka Memakainya?
Bahasa puitis adalah penggunaan kata-kata yang bukan cuma buat arti langsung, tapi juga buat menciptakan gambaran dan emosi tertentu. Salah satu gaya favorit Shakespeare adalah metafora, di mana dia membandingkan satu hal dengan hal lain yang nggak mirip, buat menunjukkan perasaan atau ide yang lebih dalam.
Contoh:
“Juliet is the sun.” (Romeo and Juliet)
Di sini, Romeo nggak bener-bener bilang Juliet itu matahari, tapi maksudnya Juliet sangat berarti dan memberi “cahaya” dalam hidupnya, seperti matahari untuk bumi.
Shakespeare pakai perumpamaan kayak gini buat nunjukin betapa dalam perasaan para karakternya, jadi kita yang membaca atau menonton bisa lebih paham suasana hati mereka.
2. Rujukan ke Budaya Zaman Dulu (Allusions)
Shakespeare juga sering banget memasukkan alusi (allusions), yaitu rujukan ke tokoh, mitos, atau cerita yang populer pada zamannya. Kalau kita nggak tahu cerita itu, kita bisa bingung sama maksudnya.
Misalnya, di Hamlet, ada kalimat seperti:
“My father’s brother, but no more like my father than I to Hercules.”
Di sini, Hamlet membandingkan pamannya dengan ayahnya, dan dirinya dengan Hercules, pahlawan kuat dalam mitologi Yunani. Dengan bilang bahwa dirinya nggak sehebat Hercules, Hamlet menunjukkan kalau pamannya sama sekali nggak bisa dibandingkan dengan ayahnya. Alusi ke Hercules ini bikin makna kalimat lebih dalam dan tajam.
3. Metafora untuk Menguatkan Emosi Karakter
Shakespeare sering menggunakan metafora untuk menunjukkan emosi karakter dengan lebih jelas. Misalnya, di Macbeth, Shakespeare menggambarkan perasaan putus asa Macbeth dalam kalimat:
“Life’s but a walking shadow.”
Kalimat ini menunjukkan bahwa Macbeth merasa hidupnya hampa, cuma “bayangan” yang berjalan tanpa tujuan. Dengan metafora ini, kita bisa memahami betapa putus asanya Macbeth saat itu.
4. Gaya Bahasa yang Unik
Selain itu, Shakespeare punya gaya bahasa sendiri yang sering bikin kita bingung. Dia suka pakai iambic pentameter (ritme puisi dengan sepuluh suku kata), yang membuat dialog-dialognya terasa seperti irama. Dia juga sering mengubah urutan kata jadi terdengar lebih puitis.
Contoh:
Instead of saying “I love thee” (aku mencintaimu), he might say “Thee I love.”
Susunan ini emang terdengar lebih dramatis, tapi kadang bikin kita bingung juga kalau belum terbiasa dengan gaya bahasanya.
5. Tips Menganalisis Karya Shakespeare
Kalau kamu tertarik memahami karya Shakespeare, ada beberapa tips yang bisa dicoba:
- Identifikasi Bahasa Puitis: Coba temukan metafora, simile, atau personifikasi yang dipakai. Tanyakan apa makna tersembunyi di baliknya.
- Kenali Rujukan Sejarah atau Mitologi: Saat menemukan rujukan ke cerita atau tokoh lama, seperti Hercules atau Dewa Yunani, cari tahu artinya. Biasanya, ini bisa membantu memahami tema atau maksud karakter.
- Pahami Susunan Kalimat Klasik: Perhatikan irama dan urutan katanya. Shakespeare suka pakai irama yang khas, jadi ini bisa jadi kunci untuk lebih menikmati dialog-dialognya.
Walaupun karya Shakespeare sering dianggap “berat,” sebenarnya, kalau kita tahu triknya, kita bisa lebih menikmati karya-karya ini. Dengan memahami bahasa puitis dan alusi yang dipakai, kita bisa menangkap makna yang lebih dalam dari setiap kata-kata Shakespeare.
Karya Shakespeare bukan cuma soal cerita, tapi juga tentang cara kata-kata menciptakan suasana hati dan perasaan, yang bikin kita bisa ngerasain pesan-pesan abadi tentang hidup, cinta, dan kemanusiaan.
https://feekampunginggris.com/blog-kampung-inggris-pare-fee-center/